Wednesday, September 18, 2013

Sub Dural Hematom (SDH)

Cedera otak yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah cedera akibat rudapaksa kepala (trauma kapitis). Di negara maju, kecelakan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama pada umur antara 2 – 44 tahun, dimana 70% diantaranya mengalami rudapaksa kepala.
 Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Pembagian lain menyebutkan bahwa pada komosio serebri, penurunan kesadaran kurang dari 15 menit dan post traumatic amnesia kurang dari 1 jam. Bila penurunan kesadaran melebihi 1 jam dan post traumatic amnesia melebihi 24 jam berarti telah terjadi kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau tidaknya gejala cedera otak fokal yang dini, dan hasil rekaman EEG.

Pembagian seperti di atas ternyata tidak memuaskan karena batas antara kontusio dan komosio serebri sering kali sulit dipastikan.

MEKANISME
Rudapaksa kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasidari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bita terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan.  Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan se-ring kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan jaringan.
Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.

PATOFISIOLOGI
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak.
Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan bahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur tengkorak.Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut.
Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak.
Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Kerusakan pada saraf otak kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.  Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja(terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum.
Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentoriiGangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan.
Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema  Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf- saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma. Ini sering terjadipada arteri karotis interna pada tempat masuknya di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim ini suatu saat dapat pecah dan timbul fistula karotiko kavernosa.
Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran antar jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging veins)akan menyebabkan suatu subdural hematoma.

Subdural Hematom
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.
a) Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul, terutama pada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan evakuasi.

b) Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah trauma minor
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri.
c) Hematoma subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang – kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan pendekatan yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk beberapa hematoma, tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang tumbuh dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhka n pemindahan untuk mencugah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging hematoma subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan, kerusakan korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai focus kejang kemudian.
Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam rangka “ triage “ maka lebih realistis bila pembagian berdasarkan tingkat kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :
1. Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)
2. Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)
3. Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)
4. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala berat.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel–sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik asidosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF) adalah 50 – 60 ml/menit/gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari curah jantung. (CO).
Oedema otak disebabkan karena adanya penumpukkan cairan yang berlebihan pada jaringan otak. Pada klien dengan cedera akibat contusio cerebri, pembuluh kapiler sobek, cairan traumatik mengandung protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami oedema otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan menimbulkan kematian jaringan otak, oedema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra kranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.

Dampak cedera kepala
a. Faktor pernafasan
Hypertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru, hypertensi paru, dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan bronkokonstriksi. Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan pernafasan chynestoke.
b. Faktor kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas atycikal myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel tachycardia. Perubahan aktivitas myokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi oedema paru.
c. Faktor gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas hypthalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidium. Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani oedema cerebral. Hyperacidium terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung.
d. Faktor metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma tubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi natrium. Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama, demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa

Terapi
Perawatan Medis
Meskipun SDH secara signifikan membutuhkan terapi pembedahan, maneuver medis sewaktu dapat digunakan preoperative untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat. Pengukuran ini merupakan pintu untuk setiap lesi massa akut dan telah distandardisasi oleh komunitas bedah saraf. Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs (airway, breathing, circulation). Semua pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk perlindungan jalan nafas.
Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis. Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi tampak. Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan menggunakan salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi, dimana penting pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang independen untuk hasil yang buruk. Sedatif kerja singkat dan paralitik digunakan hanya ketika diperlukan untuk memfasilitasi ventilasi adekuat atau ketika peningkatan tekanan intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan tanda sindrom herniasi, berikan manitol 1grkg dengan cepat melalui intravena.
Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 ~30-35 mm Hg). Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang yang disebabkan iskemia dan selanjutnya jaga tekanan intracranial. Jangan memberikan steroid, sebagaimana mereka telah ditemukan tidak efektif pada pasien dengan trauma kepala.

Perawatan Pembedahan
Tindakan bedah darurat.
Dari segi bedah saraf sangat penting adalah komplikasi intrakranial, lesi massa, khususnya hematoma intrakranial·

Hematoma subdural
Yang terpenting dalam hal gawat darurat adalah hematoma subdural akut (yang terjadi dalam waktu 72 jam sesudah trauma). Hematoma subdural, khususnya yang berkomplikasi, gejalanya tak dapat dipisahkan dari kerusakan jaringan otak yang menyertainya; yang berupa gangguan kesadaran yang berkelanjutan sejak trauma (tanpa lusid interval) yang sering bersamaan dengan gejala-gejala lesi massa, yaitu hemiparesis, deserebrasi satu sisi, atau pelebaran pupil.
Dalam hal hematoma subdural yang simple dapat terjadi lusid interval bahkan dapat tanpa gangguan kesadaran. Sering terdapat lesi multiple. Maka, tindakan CT Scan adalah ideal, karena juga menetapkan apakah lesi multiple atausingle. Angiografi karotis cukup bila hanya hematoma subdural yang didapatkan.
Bila kedua hal tersebut tak mungkin dikerjakan, sedang gejala dan perjalanan penyakit mengarah pada timbulnya lesi massa intrakranial, maka dipilih tindakan pembedahan. Tindakan eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura, evakuasi hematoma dengan irigasi memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak jaringan otak edematous.
Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga kedap air. Ini dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada faktor-faktor sistemik yang memungkinkan lesi otak sekunder.·


Fraktur impresi.
Fraktur impresi terbuka (compound depressed fracture). Indikasi operasi terutama adalah debridement, mencegah infeksi. Operasi secepatnya dikerjakan. Dianjurkan sebelum lewat 24 jam pertama. Pada impresi tertutup, indikasi operasi tidak mutlak kecuali bila terdapat kemungkinan lesi massa dibawah fraktur atau penekanan daerah motorik (hemiparesis dan lain-lain).
Indikasi yang lain (lebih lemah), ialah kosmetik dan kemungkinan robekan dura. Diagnosis dengan x foto kepala 2 proyeksi, kalau perlu dengan proyeksi tangensial. Impresi lebih dari tebal tulang kepala pada x foto tangensial, mempertinggi kemungkinan robekan dura. X foto juga diperlukan untuk menentukan letak fragmen-fragmen dan perluasan garis fraktur; dengan ini ditentukan pula apakah fraktur menyilang sinus venosus. Impresi fraktur tertutup yang menyilang garis tengah merupakan kontra indikasi relatif untuk operasi, dalam arti sebaiknya tidak diangkat bila tidak terdapat gejalayang mengarah pada kemungkinan lesi massa atau penekanan otak.
Dalam hal fraktur impresi terbuka yang menyilang sinus venosus maka persyaratan untuk operasi bertambah dengan :
– bila luka sangat kotor.
– bila angulasi besar.
– bila terdapat persediaan darah cukup.
– bila terdapat ketrampilan (skill)dan peralatan yang cukup.
Indikasi dari dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan sebelumnya, dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas.
Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses yang besar terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal. Pasien diposisikan supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan bahu ditempatkan untuk mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan pada pasien dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil. Seluruh kepala dicukur duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan intracranial pada sisi kontralateral, jika diinginkan.
Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan sebagai pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat secara cepat ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun, perlubangan kepala dapat digunakan untuk dekompresi mendesak pada apsien yang menunjukkan herniasi cepat jika akses untuk studi radiografi tidak ada.
SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi cepat subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan terhadap otak dengan menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk dekompresi dianjurkan untuk mencegah otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi. Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang kecil.

PROGNOSIS
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis : Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental. Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek. Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna.
Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetative Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.

RINGKASAN
Dibicarakan mengenai cedera otak dan dasar-dasar pengelolaannya, sehubungan dengan makin meningkatnya korban kecelakaan lalu lintas dimana banyak diantaranya mengalami cedera otak. Akibat benturan kepala, terjadi cedera pada otak dan jaringan sekitarnya yang disebut dengan lesi primer. Bila korban dapat tetap bertahan, terjadi proses lebih lanjut yang dipengaruhi oleh faktor-faktor intrakranial maupun sistemik. Proses ini akan menghasilkan kerusakan-kerusakan yang disebut lesi sekunder.
Mekanisme terjadinya cedera akibat benturan kepala dan patofisiologik proses selanjutnya telah dibicarakan; juga kerusakan-kerusakan pada jaringan sekitar otak. Pengelolaan meliputi pemeriksaan, observasi dan pengobatan penderita baik secara konservatif maupun yang memerlukan tindakan operasi darurat. Dengan pengelolaan yang cepat, terutama pada saat proses terjadinya lesi-lesi sekunder, diharapkan dapat diperoleh hasil yang sebaik-baiknya bagi penderita

DAFTAR PUSTAKA
1. Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical Care. Guidelines for the management of severe head injury. J Neurotrauma. Nov 1996;13(11):641-734.
2. Brown CV, Weng J, Oh D, et al. Does routine serial computed tomography of the head influence management of traumatic brain injury? A prospective evaluation. J Trauma. Nov 2004;57(5):939-43.
3. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute subdural hematomas. Neurosurgery. Mar 2006;58(3 Suppl):S16-24; discussion Si-iv.
4. Camel M, Grubb RL Jr. Treatment of chronic subdural hematoma by twist-drill craniotomy with continuous catheter drainage. J Neurosurg. Aug 1986;65(2):183-7. 
5. Cameron MM. Chronic subdural haematoma: a review of 114 cases. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Sep 1978;41(9):834-9.
6. Chesnut RM, Marshall LF, Klauber MR, et al. The role of secondary brain injury in determining outcome from severe head injury. J Trauma. Feb 1993;34(2):216-22. 
7. Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, et al. The localizing value of asymmetry in pupillary size in severe head injury: relation to lesion type and location. Neurosurgery. May 1994;34(5):840-5; discussion 845-6. 
8. Foelholm R, Waltimo O. Epidemiology of chronic subdural haematoma. Acta Neurochir (Wien). 1975;32(3-4):247-50.
9. Gennarelli TA, Thibault LE. Biomechanics of acute subdural hematoma. J Trauma. Aug 1982;22(8):680-6. 
10. Guilburd JN, Sviri GE. Role of dural fenestrations in acute subdural hematoma. J Neurosurg. Aug 2001;95(2):263-7.
11. Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI. Chronic subdural hematoma: the role for craniotomy reevaluated. Neurosurgery. Jul 1993;33(1):67-72. 
12. Hesselbrock R, Sawaya R, Means ED. Acute spontaneous subdural hematoma. Surg Neurol. Apr 1984;21(4):363-6.
13. Hlatky R, Valadka AB, Goodman JC, Robertson CS. Evolution of brain tissue injury after evacuation of acute traumatic subdural hematomas. Neurosurgery. Dec 2004;55(6):1318-23; discussion 1324. 

No comments:

Post a Comment