Cedera otak yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah cedera akibat
rudapaksa kepala (trauma kapitis). Di negara maju, kecelakan lalu lintas merupakan
penyebab kematian utama pada umur antara 2 – 44 tahun, dimana 70% diantaranya
mengalami rudapaksa kepala.
Secara klasik kita kenal pembagian
: komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan
kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat
kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti
kerusakan otak disertai robekan duramater. Pembagian lain menyebutkan bahwa
pada komosio serebri, penurunan kesadaran kurang dari 15 menit dan post
traumatic amnesia kurang dari 1 jam. Bila penurunan
kesadaran melebihi 1 jam dan post traumatic amnesia melebihi 24 jam
berarti telah terjadi kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau
tidaknya gejala cedera otak fokal yang dini, dan hasil rekaman EEG.
Pembagian seperti di atas ternyata tidak memuaskan karena batas antara
kontusio dan komosio serebri sering kali sulit dipastikan.
MEKANISME
Rudapaksa kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya
aselerasi, deselerasi dan rotasidari kepala dan isinya. Karena perbedaan
densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang
mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini
mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam
tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bita terjadi
deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak
cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga
gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan,
peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang
lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di
tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre
coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari
sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah
yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan
yang paling rendah, bahkan se-ring kali negatif hingga timbul kavitasi dengan
robekan jaringan.
Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma
merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat
benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan
pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita
kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan
oksipitalis.
PATOFISIOLOGI
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.
Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang
tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam
dan di sekitar otak.
Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari
fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih
dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan bahwa hanya ± 18%
penderita yang mengalami fraktur tengkorak.Fraktur tanpa kelainan neurologik,
secara klinis tidak banyak berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar
tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan
terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai
lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan
otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak,
hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara
langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya
akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang
hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang
masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat
di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural
dan intra serebral yang akut.
Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah
kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan
disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah
dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan
di batang otak.
Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan
pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan
intrakranial. Kerusakan pada saraf otak kebanyakan disebabkan oleh fraktur
lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari
trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu
3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan
ini. Gangguan pada saraf otak II
biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja(terutama
pada anak-anak), dan tidak banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun
foramen optikum.
Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI
karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera
timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema
otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan
refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentoriiGangguan pada
saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya
hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan.
Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari
kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena
penyebabnya adalah edema Kerusakannya
terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang
telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya
gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu
penyebab gangguan.
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena
kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan
pada saraf- saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain
robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat
juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi
aneurisma. Ini sering terjadipada arteri karotis interna pada tempat masuknya
di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim ini suatu saat dapat pecah
dan timbul fistula karotiko kavernosa.
Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan
potensial untuk nantinya menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung
pembuluh darah akibat gaya geseran antar jaringan di otak sewaktu trauma akan
menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra serebral. Robekan pada
vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging
veins)akan menyebabkan suatu subdural hematoma.
Subdural Hematom
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di
atas lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau
pengeluaran kumpulan darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik
merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat
atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang menimbulkan
permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.
a) Hematoma
Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk
ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan
pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan
berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah.
Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis
dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan
terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam
menit atau hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan
dari saat kejadian. Trauma cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan
perdarahan subdural akut untuk timbul, terutama pada orang tua dan mereka yang
menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi sendiri, dari kejadian,
terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala
sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi
tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil
merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr
holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi
asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan evakuasi.
b) Hematoma
Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu
lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda
– tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan
pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma
hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau
hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang
tua, seringkali setelah trauma minor
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik
melewati konveksitas pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada
wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui
oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity
hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis,
meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat
dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya
merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan
pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri.
c) Hematoma
subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan
tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran
kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental,
kejang, dan kadang – kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi.
Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan
pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien
dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan
yang terbaik adalah pembedahan
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging
serial merupakan pendekatan yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi
subdural kronik yang sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk
beberapa hematoma, tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane
fibrous yang tumbuh dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhka n
pemindahan untuk mencugah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi,
sisa yang tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging
hematoma subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana
pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan,
kerusakan korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai
focus kejang kemudian.
Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam rangka
“ triage “ maka lebih realistis bila pembagian berdasarkan tingkat kesadaran
meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :
1. Cedera Kepala
Berat (GCS : 3-8)
2. Cedera Kepala
Sedang (GCS : 9-12)
3. Cedera Kepala
Ringan (GCS : 13-15)
4. Perdarahan
Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala
berat.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel–sel syaraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan
aliran darah ke otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah
ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak
25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolik asidosis. Dalam keadaan normal aliran
darah serebral (CBF) adalah 50 – 60 ml/menit/gr jaringan otak, yang merupakan
15 % dari curah jantung. (CO).
Oedema otak disebabkan karena adanya penumpukkan cairan yang berlebihan
pada jaringan otak. Pada klien dengan cedera akibat contusio cerebri, pembuluh
kapiler sobek, cairan traumatik mengandung protein eksudat yang berisi albumin
dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami oedema otak
sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya
akan menimbulkan kematian jaringan otak, oedema jaringan otak akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intra kranial yang dapat menyebabkan herniasi
dan penekanan pada batang otak.
Dampak cedera kepala
a. Faktor
pernafasan
Hypertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi
paru, hypertensi paru, dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan
bronkokonstriksi. Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan
terhadap karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan
pernafasan chynestoke.
b. Faktor
kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup
aktivitas atycikal myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan
disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel tachycardia. Perubahan aktivitas
myokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work,
CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi
oedema paru.
c. Faktor
gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang
ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan
merangsang aktivitas hypthalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan
langsung hiperacidium. Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam
mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani oedema cerebral. Hyperacidium
terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres
yang mempengaruhi produksi asam lambung.
d. Faktor
metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada
trauma tubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta
hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebabkan karena adanya
rangsangan terhadap hypothalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan
sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal
untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini
mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi natrium. Pada pasca
hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon metabolik
terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk
menangani perubahan seluruh sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga
terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama, demikian pula
respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol, hormon
pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis
metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa
Terapi
Meskipun SDH secara signifikan
membutuhkan terapi pembedahan, maneuver medis sewaktu dapat digunakan
preoperative untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat. Pengukuran
ini merupakan pintu untuk setiap lesi massa akut dan telah distandardisasi oleh
komunitas bedah saraf. Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi
dimulai dengan ABCs (airway, breathing, circulation). Semua pasien dengan skor
GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk perlindungan jalan nafas.
Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis.
Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari
hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi tampak. Tekanan
darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan menggunakan
salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi, dimana penting
pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang independen untuk
hasil yang buruk. Sedatif kerja singkat dan paralitik digunakan hanya ketika
diperlukan untuk memfasilitasi ventilasi adekuat atau ketika peningkatan
tekanan intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan tanda sindrom herniasi,
berikan manitol 1grkg dengan cepat melalui intravena.
Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 ~30-35 mm
Hg). Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang yang disebabkan iskemia dan
selanjutnya jaga tekanan intracranial. Jangan memberikan steroid, sebagaimana
mereka telah ditemukan tidak efektif pada pasien dengan trauma kepala.
Perawatan Pembedahan
Dari segi bedah saraf sangat penting adalah komplikasi intrakranial, lesi
massa, khususnya hematoma intrakranial·
Hematoma subdural
Yang terpenting dalam hal gawat darurat adalah hematoma subdural akut
(yang terjadi dalam waktu 72 jam sesudah trauma). Hematoma subdural, khususnya
yang berkomplikasi, gejalanya tak dapat dipisahkan dari kerusakan jaringan otak
yang menyertainya; yang berupa gangguan kesadaran yang berkelanjutan sejak trauma
(tanpa lusid interval) yang sering bersamaan dengan gejala-gejala lesi massa,
yaitu hemiparesis, deserebrasi satu sisi, atau pelebaran pupil.
Dalam hal hematoma subdural yang simple dapat terjadi lusid
interval bahkan dapat tanpa gangguan kesadaran. Sering terdapat
lesi multiple. Maka, tindakan
CT Scan adalah ideal, karena juga menetapkan apakah
lesi multiple atausingle. Angiografi karotis cukup bila hanya
hematoma subdural yang didapatkan.
Bila kedua hal tersebut tak mungkin dikerjakan, sedang gejala dan
perjalanan penyakit mengarah pada timbulnya lesi massa intrakranial, maka
dipilih tindakan pembedahan. Tindakan
eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura,
evakuasi hematoma dengan irigasi memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak
jaringan otak edematous.
Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang
likuor hingga kedap air. Ini dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan
pascabedah ditujukan pada faktor-faktor sistemik yang memungkinkan lesi otak sekunder.·
Fraktur impresi.
Fraktur impresi terbuka (compound depressed fracture). Indikasi
operasi terutama adalah debridement, mencegah infeksi. Operasi
secepatnya dikerjakan. Dianjurkan sebelum lewat 24 jam pertama. Pada impresi
tertutup, indikasi operasi tidak mutlak kecuali bila terdapat kemungkinan lesi
massa dibawah fraktur atau penekanan daerah motorik (hemiparesis dan
lain-lain).
Indikasi yang lain (lebih lemah), ialah kosmetik dan kemungkinan robekan
dura. Diagnosis dengan x foto kepala 2 proyeksi, kalau perlu dengan proyeksi
tangensial. Impresi lebih dari tebal tulang kepala pada x foto tangensial,
mempertinggi kemungkinan robekan dura. X foto juga diperlukan untuk menentukan
letak fragmen-fragmen dan perluasan garis fraktur; dengan ini ditentukan pula
apakah fraktur menyilang sinus venosus. Impresi fraktur tertutup yang menyilang
garis tengah merupakan kontra indikasi relatif untuk operasi, dalam arti
sebaiknya tidak diangkat bila tidak terdapat gejalayang mengarah pada
kemungkinan lesi massa atau penekanan otak.
Dalam hal fraktur impresi terbuka yang menyilang sinus venosus maka
persyaratan untuk operasi bertambah dengan :
– bila luka
sangat kotor.
– bila angulasi
besar.
– bila terdapat
persediaan darah cukup.
– bila terdapat
ketrampilan (skill)dan peralatan yang cukup.
Indikasi dari dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah
dilakukan sebelumnya, dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas.
Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses
yang besar terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal. Pasien diposisikan
supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan bahu ditempatkan untuk
mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan pada pasien
dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil. Seluruh kepala dicukur
duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan intracranial pada sisi
kontralateral, jika diinginkan.
Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan
sebagai pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat
secara cepat ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat trauma melalui CT Scan,
membuat perlubangan eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun, perlubangan
kepala dapat digunakan untuk dekompresi mendesak pada apsien yang menunjukkan
herniasi cepat jika akses untuk studi radiografi tidak ada.
SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis,
dekompresi cepat subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat
menyebabkan kerusakan terhadap otak dengan menjadi herniasi melalui defek
kraniotomi. Metode novel untuk dekompresi dianjurkan untuk mencegah otak dari
kerusakan melalui defek kiraniotomi. Sumbatan dapat dipindahkan melalui
pembukaan dura yang kecil.
PROGNOSIS
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis : Usia dan lamanya koma
pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma
terhadap restitusi mental. Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma
memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis
jelek. Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda
penyembuhan akan tidak sempurna.
Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi:
menjurus ke arah hidup vegetative Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan
refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain
death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.
RINGKASAN
Dibicarakan mengenai cedera otak dan dasar-dasar pengelolaannya,
sehubungan dengan makin meningkatnya korban kecelakaan lalu lintas dimana
banyak diantaranya mengalami cedera otak. Akibat benturan kepala, terjadi
cedera pada otak dan jaringan sekitarnya yang disebut dengan lesi primer. Bila
korban dapat tetap bertahan, terjadi proses lebih lanjut yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor intrakranial maupun sistemik. Proses ini akan menghasilkan
kerusakan-kerusakan yang disebut lesi sekunder.
Mekanisme terjadinya cedera akibat benturan kepala dan patofisiologik
proses selanjutnya telah dibicarakan; juga kerusakan-kerusakan pada jaringan
sekitar otak. Pengelolaan meliputi pemeriksaan, observasi dan pengobatan
penderita baik secara konservatif maupun yang memerlukan tindakan operasi
darurat. Dengan pengelolaan yang cepat, terutama pada saat proses terjadinya
lesi-lesi sekunder, diharapkan dapat diperoleh hasil yang sebaik-baiknya bagi
penderita
DAFTAR PUSTAKA
1. Brain
Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical
Care. Guidelines for the management of severe head injury. J
Neurotrauma. Nov 1996;13(11):641-734.
2. Brown
CV, Weng J, Oh D, et al. Does routine serial computed tomography of the
head influence management of traumatic brain injury? A prospective
evaluation. J Trauma. Nov 2004;57(5):939-43.
3. Bullock
MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute subdural
hematomas. Neurosurgery. Mar 2006;58(3 Suppl):S16-24; discussion
Si-iv.
4. Camel M,
Grubb RL Jr. Treatment of chronic subdural hematoma by twist-drill
craniotomy with continuous catheter drainage. J
Neurosurg. Aug 1986;65(2):183-7.
5. Cameron
MM. Chronic subdural haematoma: a review of 114 cases. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. Sep 1978;41(9):834-9.
6. Chesnut
RM, Marshall LF, Klauber MR, et al. The role of secondary brain injury in
determining outcome from severe head injury. J Trauma. Feb 1993;34(2):216-22.
7. Chesnut
RM, Gautille T, Blunt BA, et al. The localizing value of asymmetry in
pupillary size in severe head injury: relation to lesion type and
location. Neurosurgery. May 1994;34(5):840-5; discussion
845-6.
8. Foelholm
R, Waltimo O. Epidemiology of chronic subdural haematoma. Acta
Neurochir (Wien). 1975;32(3-4):247-50.
9. Gennarelli
TA, Thibault LE. Biomechanics of acute subdural hematoma. J
Trauma. Aug 1982;22(8):680-6.
10. Guilburd
JN, Sviri GE. Role of dural fenestrations in acute subdural
hematoma. J Neurosurg. Aug 2001;95(2):263-7.
11. Hamilton
MG, Frizzell JB, Tranmer BI. Chronic subdural hematoma: the role for
craniotomy
reevaluated. Neurosurgery. Jul 1993;33(1):67-72.
12. Hesselbrock
R, Sawaya R, Means ED. Acute spontaneous subdural hematoma. Surg
Neurol. Apr 1984;21(4):363-6.
13. Hlatky
R, Valadka AB, Goodman JC, Robertson CS. Evolution of brain tissue injury
after evacuation of acute traumatic subdural
hematomas. Neurosurgery. Dec 2004;55(6):1318-23; discussion
1324.
No comments:
Post a Comment