Tuesday, September 24, 2013

Dokter, Kuli Berjas Putih Korban Politik Pencitraan!


Kadang seperti ada penyesalan menjadi seorang dokter, bukan masalah gaji yang diterima atau beban kerja yang harus ditanggung. Tapi lebih pada masalah tugas dan fungsi dokter sebagai tenaga kesehatan yang seharusnya totalitas mengabdi pada masayarakat namun dibenturkan dengan kepentingan politik sejumlah politikus, pemimpin daerah bahkan pemimpin negara sekalipun. Entah mereka sadari atau tidak tapi kami rakyat kecil yang dibawah ini dan para tenaga kesehatan yang berada di garis depan pelayanan kesehatan masyarakat yang paling bisa merasakan.


Semua orang tahu bahwa saat ini Indonesia memilih langsung para calon pemimpinnya baik tingkat daerah kabupaten, gubernur hingga presiden. Masing-masing calon mempunyai program andalan yang dirasa paling baik dan mampu menarik minat pemilih. Program yang kadang tidak rasional dan masuk akal berani mereka janjikan guna memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan. Yang ada di pikiran mereka yang penting terpilih dulu, psalnya nanti bisa merealisasikan janji-janjinya itu urusan belakangan.

Program yang selalu jadi primadona andalan para politikus untuk menarik minat para pemilih yang paling banyak dijanjikan adalah ” program kesehatan/ berobat gratis danprogram pendidikan/ sekolah gratis”. Setuju memang kalau sudah selayaknya masyarakat Indonesia mendapatkan pengobatan dan sekolah gratis. Karena untuk mencukupi itu semua negara Indonesia sebenarnya sangat amat mampu. bahkan untuk kedua program tersebut sudah selayaknya menjadi Hal warga negara tanpa terkecuali.

Beberapa waktu silam saya sempat melihat tayangan di Televisi ketika seorang pengamat ekonomi mengatakan bahwa “ setiap warga negara Indonesia sebenarnya bisa mendapatkan gaji 10-20 juta perbulan tanpa bekerja” asalkan semua kekayaan sumber daya alam Indonesia dikelola dengan baik oleh bangsa sendiri dan tidak ada satupun pejabat yang melakukan korupsi. Sebuah pernyataan yang masuk akal menurut saya, karena saat ini kekayaan Indonesia hanya dinikmati oknum-oknum tertentu saja.

Yang terjadi saat ini justru lain, orang kaya indonesia semakin kaya sementara orang miskin semakin miskin dan bertambah banyak seiring semakin meningkatnya harga kebutuhan pokok. Kondisi semacam itu sepertinya sudah disetting, cara-cara seperti itu memungkinkan untuk penguasa mencari simpati dan dukungan dengan membagikan BLSM, dan program janji-janji pengobatan gratis bagi semua. Dibawah keterpurukan dan kemiskinan yang melanda rakyat pemberian jani-janji semacam itu seperti memberikan angin surga dimana akhirnya timbul simpati dari rakyat kecil.

Fakta dilapangan tidaklah seindah itu, ketika orang dijanjikan mendapatkan pengobatan gratis sementara jumlah tenaga kesehatan minim, fasilitas dan sarana prasarana pendukung tidak memadai akhirnya banyak masyarakat calon pasien menjadi kecewa karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan memuaskan. Kekecewaan dan ketidak puasan semacam itu bisa kita lihat contohnya didalam pemberitaan-pemberitaan di media massa mengenai kinerja dokter dan tenaga kesehatan kita.

Berapa banyak pemberitaan media yang mengatakan pasien miskin ditolak karena rumah sakit penuh? walaupun kenyataannya memang penuh. Berapa banyak media yang memberitakan tentang kinerja dokter dan tenaga kesehatan Indonesia yang buruk? walaupun kenyataanya memang fasilitas kita buruk. Sangat banyak! bahkantidak pernah saya mendengar berita positif tentang pelayanan dokter dan rumah sakit di media massa. Sepertinya berita negatif seputar dokter atau tenaga kesehatan indonesia lebih menarik dan menjual untuk diberitakan ketimbang berita-berita yang positif ..

Politik pencitraan yang dilakukan penguasa memang boleh dibilang sangat bagus khususnya bagi kesuksesan pencalonan mereka. Tapi yang terjadi sebenarnya mereka sedang meng- “adu domba” kami dokter & tenaga kesehatan dengan masyarakat sebagai pasien yang setiap hari bersinggungan langsung dgn kami. Penguasa tidak pernah tahu bagaimana kami bekerja dan mereka penguasa juga tak pernah tahu secara persis keluh kesah para pasien mengenai pelayanan kesehatan.

Dalam pelakasanaan pelayanan kesehatan yang penguasa tahu dari politik pencitraan mereka  adalah yang penting Progam pengobatan gratis jalan, rakyat senang, bodo amat kalau ternyata banyak masalah yang mendera karena pada akhirnya yang berbenturan langsung dilapangan juga nantinya bukan para politikus /pembuat kebijakan, tapi yang berhadapan langsung ada;ah  “Dokter VS Pasien”. Akhirnya masyarakat memandang bahwa buruknya layanan kesehatan ini ya karena dokternya, karena perawat, bidan atau rumah sakitnya, tapi pasien/masyarakat tidak pernah mencari sumber kekacauannya sebenarnya itu ada dimana.
Masyarakat harus tahu minimnya APBN kesehatan kita dimana saat ini jumlahnya hanya 2% dari total APBN, yang mana seharusnya menurut undang-undang republik indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan seharusnya negara menganggarkan minimal 5% dari total APBN untuk anggaran biaya kesehatan masyarakat. Sampai saat ini amanah undang-undang tersebut nyata tidak dilaksanakan oleh pemerintah, terbukti akhirnya banyak kekacauan dan permasalahan dalam pelaksaanan pelayanan kesehatan masyarakat.

Janji pengobatan gratis oleh penguasa yang sangat kental dengan nuansa politik pencitraan dalam pelaksanaanya dilapangan sangat berkebalikan dengan apa yang mereka janjikan. Karena upaya untuk pemenuhan janji-janji tersebut membutuhkan dana yang sangat besar dan tidak sedikit sementara anggaran pendapatan belanja negara yang digelontorkan bagi pelayanan kesehatan masyarakat miskin sangat rendah. Akhirnya berujung pada pelayanan kami (dokter dan tenaga kesehatan) menjadi tidak maksimal yang berujung pada kekecewaan pasien (masyarakat)

Bagaimana mungkin kita (para pelayan medis) ini bisa bekerja dengan baik dan maksimal jika fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung bagi berlangsungnya pelayanan kesehatan masyarakat tidak memadai? bagaimana mungkin para tenaga kesehatan ini bisa bekerja dengan tenang, ikhlas mengabdi jika kesejahteraan mereka dan keluarganya sendiri tidak diperhatikan pemerintah? walaupun tenaga medis syarat dengan kerja sosial tapi bukan berarti kami tidak butuh makan atau uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Masyarakat juga harus tahu bahwasanya gaji dokter itu tidak sebesar yang mungkin  orang bayangkan selama ini. Banyak teman PNS  gajinya sebagai PNS gol 3B saat ini adalah 2,5 jt sementara tetangga saya kerja di garmen di cikarang gajinya saat ini sudah mencapai 3,5 jt. Cerita lain adik sepupu saya yang baru lulus jadi dokter dan harus menjalani internship di pedalaman Nusa Tenggara Barat digaji 1,250,000 perbulan. Sementara gaji sopir busway sudah mencapai 7 juta, bahkan penjaga tiket buswnya saja sudah mencapai 3 juta.
Bukannya mau membanding-bandingkan, tapi dari tingkat pendidikan, lamanya menempuh pendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan yang harus dijalankan oleh seorang dokter dan tenaga kesehatan yang lain tentunya bisa dibilang sangat tidak adil. Dengan beban berat tugas dan kewajiban yang sama-sama harus ditanggung, faktor resiko tertular penyakit yang besar, dan bekerja dalam tekanan karena dihadapkan dengan nyawa seseorang tentunya penghasilan kecil semacam itu terkesan mencederai niat dan ketulusan untuk mengabdi pada masyarakat.

Perlu juga masyarakat tahu, mengabdi memang tidak selayaknya menuntut atau mempersalahkan gaji. Jangan juga dipikir semua dokter itu kaya, karena bisa dibilang mungkin kekayaan mereka sudah dihabiskan untuk menuntut ilmu di sekolah kedokteran karena luar biasa mahalnya biaya sekolah dokter di negara kita. Jadi jika saat ini mereka bekerja itu lebih karena kita juga butuh penghidupan yang layak bagi keluarga, anak-istri bahkan untuk orang tua yang membiayai kuliah kita sehingga juga ada keinginan untuk mengangkat derajat mereka dan bukan sekedar keinginan mengabdi saja.

Kenyataanya saat ini pekerjaan dokter begitu berat, karena membludaknya pasien akibat politik pencitraan “pengobatan gratis”. Jangan dipikir bahwa dokter mendapat pembayaran dari setiap pasien mereka, kalaupun ada yang dibayar pun perpasien hanya sekitar Rp 1000-Rp. 2000 masih lebih rendah dari tarif parkir di ibu kota. Apakah hanya segitu saja penghargaan yang diberikan pada hasil kerja seorang dokter dalam melayani pasien? apakah salah jika akhirnya dokter kecapekan setelah melayani 50-150 pasien sehari akhirnya tidak bisa menjelaskan dengan detail penyakit pasien, bahkan untuk tersenyum saja juga sudah lelah?

Itulah gambaran dokter indonesia saat ini, walaupun ada dokter-dokter senior yang mungkin terlihat kaya dimata anda, tapi dibalik itu masih lebih banyak dokter yang sedang merintis dan hidup dalam tekanan “politik pencitraan” dalam pekerjaan mereka. Bisa dibilang dokter tak lebih hanya sekedar seorang kuli intelek yang bekerja dalam balutan jas putih yang suci, namun rawan tertular infeksi, dicaci dan dibenci masyarakat yang kecewa ketika mereka tidak puasa dilayani. Semoga masyarakat memaafkan kami ketika pelayanan kami belum bisa maksimal karena berbagai keterbatasan dan kekurangan dalam pelaksanaan sistem kesehatan dinegara kita.


No comments:

Post a Comment